Kei, berada tak jauh dari papanya ketika aku datang
mendekat. Dia sedang menyetrika bajunya untuk sekolah besok. Aku dan papanya
berpapasan di lorong dalam rumah kami tepat di depan sebuah cermin besar.
“cium dong pa,” sapaku
sama si ‘my man’ yang tak punya kandungan romantisme ini dalam darahnya.
Dia menyodorkan
keningnya, “aku nggak mau yang itu, udah kayak nenek sama cucunya aja”,
dia
menyodorkan hidungnya “ah papa, masak kayak ciuman jumpa masyarakat di timur tengah”, dia geli melihatku.
Aku tau anak kami
yang 2 meter di belakang kami hanya terhalang pemandangan oleh lemari menyimak kami
orang tuannya.
Gak masalah.
” Coba lihat bagaimana gayamu di depan cermin pa”
aku membelakangi cermin supaya dia bisa memeriksa gayanya disitu, siapa tau
bisa jadi romantis seperti yang di pilem pilem.
Sayang hasilnya nihil.
Di terkekeh
kekeh sambil menyodorkan pipinya mendekati pipiku,
“aduh! kayak salaman ibu
ibu arisan aja sih pa.”
Akhirnya dengan
monyong sekali, dia arahkan bibirnya kemukaku dengan mata besar seperti hendak
menangkap ayam yang panik lari sana kemari. Gayanya telak mengusir hasrat.
Dia terbahak
melihat hasrat roman itu tebang menjauh dari atas kepalaku.
Kei berdiri di
depan kami geleng geleng kepala, ada senyum aneh di wajahnya seakan akan apa
yang tengah kami lakukan barusan itu konyol, tapi aku tau dari matanya, dia
bahagia melihat kami, memang kami konyol dan agak lucu, tapi juga mesra guys. “huh,
pacaran aja!” katanya sambil lewat diantara kami. “ betul betul betul.” Kata kami
berdua senang.
Beberapa keluarga mungkin malu bermesraan di depan anak anak mereka, “risih ah”, “itu
bukan budaya timur”, atau “kita sudah tua”, sering menjadi alasan untuk
membiarkan kemesraan itu terkunci di dalam kamar. Memang menyembunyikan itu
lebih nyaman buat perasaan dari pada memunculkannya. Tapi demi anak anak kita,
ijinkanlah mereka melihatnya dan menikmatinya, demi masa remajanya, dan masa
kedewasaannya, ijinkan mereka mencecapnya dari kita.
Melihat ayah dan
ibu berpelukan, berciuman saling menggoda dan bercanda mesra satu sama lain,
menimbulkan rasa aman di hati mereka, rasa pasti dan percaya. Bahwa tempat
mereka berpijak, atap tempat mereka berteduh dan dinding pembatas dari ketidak
pastian dunia luar masih kokoh berdiri bagi mereka.
Perasaan yang
timbul sungguh lain dibandingkan perasaan yang muncul ketika menyaksikan kedua
orangtua saling berteriak menyalahkan satu sama lain dalam amarah yang meledak
ledak, ketika melihat salah satu orang tua begitu tegang atau berderai derai
air mata karena kesalah pahaman diantara keduanya.
Perasaan takut, bingung,
ragu dan kacau membungkus hati anak anak menarik mereka dalam kengerian panjang
tentang, “siapakah dari mereka yang kukasihi, yang akan kupilih jika mereka
bercerai?”
Pemandangan mesra
yang di sajikan orang tua bagi anak anak mereka menumbuhkan keberanian percaya
di dalam hati anak anak akan masa depan mereka, ada harapan, bahwa mungkin
merekapun beroleh kemesraan yang sama kelak.
Anak anak kita
seperti orang yang makan kenyang dan tak ingin jajan lagi dengan makanan tak
sehat yang di jajakan di pinggir jalan.
Mereka tidak lapar dan haus akan kasih
sayang dan mencarinya di tempat yang salah dengan orang yang salah.
Akan lebih mudah
bagi mereka untuk menurut, ketika kita menasehatkan mereka untuk tidak menuruti
ajakan teman atau iklan dan internet untuk memeriksa tontonan porno.
Suatu waktu 3
tahun lalu ketika Kei berusia 10 tahun, dia bertanya lagi setelah aku selesai menjawab
panjang lebar pertanyaannya tentang, bagaimana caranya sperma papa keluar dari
badannya dan bisa masuk ke dalam tubuhku dan berjumpa sel telur ketika aku
tidur, sehingga aku menjadi hamil. benarkah lewat mulut kami, pertanyaan itu mengganggunya, (aku akan menulis dialog kami ini di lain kesempatan).
Kei; “mama, apa
boleh aku melihat bagaimana mama dan papa melakukannya?”
Dan itu lah saat
penutup cerita kami, aku menjawab,
“semua yang Kei perlu tahu sudah mama
sampaikan.Tak ada yang bisa menyampaikan seperti ini selain orang tua, karena
kami telah mengalami, dan di kasih hikmat oleh Tuhan untuk menyampaikan ke Kei
dengan sopan dan benar. Tetapi tentang bagaimana mama dan papa melakukannya,
itu adalah rahasia setiap suami istri dan Tuhan, tidak boleh pertontonkan atau
di filmkan, itu privat dan kudus. itu adalah suatu pengetahuan yag dalam, yang cuma
bisa diketahui oleh orang yang sudah menjadi suami istri. Jadi, Kei, jangan
percaya jika ada yang mengatakan “ayo lihat orang berhubungan seks supaya kita jadi
lebih tahu”. Kamu sudah tau sebanyak yang perlu kamu tau. Lebih dari itu
datangnya dari pada si jahat. Karena sejak Dunia di ciptakan, Sex itu adalah
karunia Tuhan untuk orang menikah. Kei harus tunggu menikah dulu untuk tau
lebih dari yang mama ceritakan. Bersabar ya nak”.
Ijinkan mereka
mencicip sedikit keintiman kita dan mendapatkan haknya, supaya mereka jangan
tersesat di kemudian hari.



Tulisan ini menjadi inspirasi bagi keluarga dalam menjalin hubungan orangtua dan anak. Hal-hal ditulis merupakan hal praktis dan bisa dilakukan. Terima kasih Bu Lolen sudah mengingatkan kami
BalasHapusCatatanmu menyemangati ku bang, Trimakasih.
HapusBahagia melihat orang tua mengungkapkan cinta dan sayang mereka....
BalasHapusIa. Betul sekali. trimakasih kaka.
BalasHapusHubungan orang tua yang harmonis menjadi contoh teladan yang baik buat anak-anak kelak sebagai role model utk membangun hubungan dengan pasangan hidup yang tepat dan bagaimana memperlakukan pasangan yang baik & benar dalam "Kasih Kudus". Terima kasih tulisannya sudah me remind untuk belajar terus menjaga kasih & keharmonisan dan saling pengertian, memahami & memperlakukan sesuai "Bahasa Kasih" masing2 anggota keluarga sesuai karakter mrk sebagai Keluarga yg mencerminkan Kasih Allah. GBU
BalasHapusdiberkatilah keluargamu sis.
HapusThanks Florence utk sharing tulisannya. Boleh aku share kpd keluarga lain?
BalasHapusSilahkan kakak, Trimakasih!
HapusTrimakasih ka untuk tulisannya. Bagus sekali (meski kami belum memiliki anak). Ini bsa jadi pengajaran yang bagus sekali.
BalasHapusKeep writing the truth.
Trimakasih Hendrik.
Hapus